SepercikHikmah – Sahabat SepercikHikmah, Bulan Ramadhan
sebentar lagi telah usai, Kita akan segera bertemu dengan bulan Syawal, Dimana
bulan tersebut merupakan bulan peningkatan amalan ibadah kita.
Berikut ini ialah panduan ringkas dalam shalat ‘ied,
baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa
penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.
Hukum
Shalat ‘Ied
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied ialah
wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan
mukim[1]. Dalil dari hal ini ialah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
– أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar
mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit,
begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita
yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.”[2]
Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh
Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]
Yang Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terus menerus melakukannya.
Yang Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied.
Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied
itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena
keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja
diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Yang Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang
menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al
Kautsar: 2). Maksud ayat ini ialah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.
Yang Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang
yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada
hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib
pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied.
–Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied ialah wajib bagi setiap
muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya ialah fardhu kifayah
(wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum
shalat ‘ied ialah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini ialah pendapat yang
lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk
melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu
Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka
terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di
satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied ialah salah
satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana
lagi dengan kaum pria?”[4]
Waktu
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai
waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat
‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat
dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar
menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]
Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal ialah
agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul
Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk
menunaikan zakat fithri.[8]
Tempat
Pelaksanaan Shalat ‘Ied
Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih
afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu
Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم –
يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar
pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.”[9]
An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di
atas ialah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya
dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada
melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai
negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu
dilakukan di Masjidil Haram.”[10]
Tuntunan
Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied
Yang Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat
shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang
menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat
shalat.”[11]
Yang
Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul
Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika
shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]
Yang
Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk
shalat ‘Idul Fithri.
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu.
Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah
pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]
Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul
Fithri ialah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa.
Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu ialah
agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat
‘ied.[14]
Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied.
Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak
shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan
dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan,
beliau berhenti dari bertakbir.”[15]
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha)
bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain,
Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat
suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]
Tata
cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:
[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan
menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama
madzhab.[17]
[2] Di antara lafazh takbir ialah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah
wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha
Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah,
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat,
bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang
mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga
diperbolehkan.[19]
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat
shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang
pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika
keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang
ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat
‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena
kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda.
Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ –
صلى الله عليه وسلم –
إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied,
beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.”[21]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat
shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar,
beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan
berjalan kaki.”[22]
Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar
pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua
raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah
‘ied.”[23]
Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied
Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan
Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali
atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada
adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash
Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi ialah tidak melakukan hal-hal
semacam tadi.”[25]
Tata
Cara Shalat ‘Ied
Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha ialah
dua raka’at. Adapun tata caranya ialah sebagai berikut.[26]
Yang
Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana
shalat-shalat lainnya.
Yang
Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak
tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah.
Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang
dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal
sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya
dalam setiap takbir.”[27]
Yang
Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada
tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu
Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji
Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap
takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ .
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii
war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang
benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah
aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini
saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada
Allah Ta’ala.
Yang
Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan
membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ialah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at
kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al
Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca
“Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol
qomar” (surat Al Qomar).”[29]
Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama
dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari
Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat
Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An
Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca
dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al
A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin
Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at,
beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]
Yang
Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan
shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).
Yang
Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at
kedua.
Yang
Ketujuh : Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak
lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al
Fatihah.
Yang
Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya
sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Yang
Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.
Khutbah
Setelah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم –
وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ –
رضى الله عنهما –
يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr,
begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]
Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk
melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah
Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas
tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan
“hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang
lainnya.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam
satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallammembuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang
sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak
menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan
takbir.”[34]
Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah
tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri
shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau
selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap
duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi,
silakan ia pergi.”[35]
Ucapan
Selamat Hari Raya
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari
‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa
setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika”
dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi.
Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan
dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam
Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada
seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan
membalasnya”. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat ialah
wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan
sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya,
barangsiapa yang ingin mengucapkan
selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang
meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh)
Semoga panduan sholat ied
ini bermanfaat bagi kita semua. Terutama bagi sahabat pembaca SepercikHikmah.
Sumber: rumaysho.com