SepercikHikmah – Sahabat SepercikHikmah,
Orangtua tidak minta apa-apa padamu, Nak. Orangtua hanya ingin anaknya bahagia
dan baik ibadahnya, kami sudah senang.” Begitulah nurani kebanyakan orangtua.
Tiada rasa pamrih apa pun pada masa depan buah hatinya. Harapannya dalam
mengasuh ialah yang terbaik dunia akhirat untuk anak, tapi apakah kebaikan
tersebut menjelma menjadi sosok anak-anak yang sesuai harapan?
Anak yang tidak Sesuai Harapan
Entah hal ini termasuk bagian dari
tanda-tanda akhir zaman atau tidak, tapi kita bisa melihat betapa banyak anak
yang sudah akil baligh, semakin dewasa bukannya meringankan orangtua, malah
menjadi beban berkepanjangan. Sepertinya bukan hal yang sulit menemukan remaja
kini yang tidak hormat dan mudah memerintah orangtua, bermental rapuh dan
kekanak-kanakan, berperilaku keras, pemarah, bahkan ketika sudah menikah masih
butuhbantuan orangtua. Padahal, orangtua akan semakin menua. Kemampuannya dalam
memenuhi kebutuhan anak tak lagi sekuat dulu.
Keikhlasan orangtua dalam memberikan apa
pun yang anak butuhkan, bukan saja akan memperburuk kualitas kepribadian anak,
tapi juga bisa menjadi bumerang bagi orangtua. Mengasuh dengan ikhlas bukan
berarti memanjakan atau membebaskan anak berbuat semuanya, memaklumi dan selalu
membela perilaku menyimpangnya, atau ketika dewasa anak boleh memilih jalan
hidup sesukanya. Karena nanti kita akan ditanya,sudah sesuai dengan aturan
Allah dan Rasul-Nya-kah kita memperlakukan amanah-Nya ini?
Pada Awalnya, Menyepelehkan Shalat
Konsultan keluarga samara, Dr H Ade
Purnama, MA, mengindikasikan bahwa fenomena anak-anak yang rapuh ini sebetulnya
bermula dari kesalahan orangtua dalam mengemban amanah atau mendidik. Dalam
ajaran Islam, anak-anak sudah diperintahkan
untuk shalat sejak usia 7 tahun. Itu artinya, sebelum 7 tahun dia sudah
diajari tentang shalat. “Jika usia 5-6 tahun anak belajar shalat, masuk usia 7
tahun dia sudah bisa diajak shalat, ke masjid sudah tidak harus disuruh. Jadi
tahapannya, usia 5-6 tahun diajari, 7 tahun disuruh, 8-9 tahunsosialisasi, 10
tahun sudah wajib shalat,” jelas Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Jakarta
Utara ini.
Shalat, imbuh Ade, ialah pendidikan dasar
sejak awal. Ini menunjukkan pendidikan tentang mental spiritual. Jauh sebelum
anak diajari tentang ilmu pengetahuan dalam pengertian sains, ternyata mental
spiritual itu sudah ditanamkan sebelum 7 tahun. Jika ini dipraktikkan, tidak
akan ada generasi yang rapuh mentalnya. Tidak akan ada anak-anak yang secara
usia sudah besar, tapi secara mental kekanak-kanakan. Kenapa? “Karena
pendidikan shalat sebagai cermin pendidikan spiritual itu sudah tertanam bahkan
sebelum 7 tahun. Usia 10 tahun dia sudah dewasa secara ruhiyah. Kalau sudah
dewasa secara ruhiyah, berikutnya tinggal diajari hal-hal yang berkaitan dengan
aqliyah, pengetahuan ilmiah,” tegasnya. Itulah jawaban mengapa banyak anak
rapuh secara mental.
Islam menjadikan shalat sebagai barometer
pendidikan mental seseorang. Tidak aneh ketika Umar ra ingin mengangkat seorang
gubernur, beliau akan selalu menanyakan bagaimana shalat berjamaahnya si Fulan.
Jika bagus, barulah dilantik. Ketika sahabat bertanya apa hubungan antara
shalat dan jabatan gubernur? Beliau menjelaskan, “Shalat itu amanah Allah,
kalau amanah Allah dia jaga, amanah manusia akan dia jaga. Kalau amanah Allah
sudah diabaikan, apalagi amanah yang lain
.
Secara fitrah, manusia harus memenuhi
tiga aspek kebutuhan dasarnya, yaitu ruhiyah, jasadiyah, dan aqliyah. Jika
kebutuhan jasadiyah terpenuhi dengan sandang-pangan-papan, dan aqliyah
terpenuhi dengan pendidikan formal dan nonformal, maka ruhiyah hanya bisa
dipenuhi dengan ibadah dan dzikrullah. Inilah yang berperan dalam pengendalian
diri seseorang sehingga melahirkan kematangan jiwa dan kedewasaan, walaupun ia
tidak berpendidikan tinggi.
Ketika Anak Mengecewakan
Penelitian membuktikan bahwa kerusakan
perilaku yang terjadi pada anak, banyak disebabkan oleh tidak harmonisnya
hubungan orangtua dan anak. Jika di satu sisi banyak orangtua yang permisif
pada anak, di sisi lain banyak pula orangtua yang otoriter, kurang bisa
mendengarkan aspirasi dan memaafkan kesalahan anak. Orangtua mudah emosi dan
menyalahkan anak ketika ada hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya.
Emosi yang kerap menghiasi pola asuh
kepada anak, menurut Ade, menunjukkan belum ada kesadaran dan keikhlasan di
hati orangtua dalam melaksanakan perintah Allah itu. Manusia mana pun tak
pernah lepas dari salah, apalagi seorang anak. Maka ketika mendapati kesalahan
dari seorang anak, orangtua selayaknya selalu melapangkan dada untuk memberi
maaf. Sikap keras dan kasar malah akan menjadikan anak menjadi lebih kasar
seperti yang ia lihat dari orangtuanya.
Tapi, tambah Ade, kita harus membedakan
antara memaafkan dengan tidak membiarkan kesalahan. Ketika anak melakukan
kesalahan, jelas harus dimaafkan. Tidak harus selalu dihukum, tapi tunjukkan
kesalahannya. “Orangtua yang lebih banyak memaafkan anak dan meluruskan
kesalahannya lebih baik daripada yang banyak menghukum tapi tidak pernah
mengingatkan kesalahan,” jelas dosen di beberapa kampus ini.
Lalu sampai kapan orangtua wajib
mengingatkan dan mengarahkan anaknya? “Sampai menikahkan anaknya, orangtua
tidak wajib lagi mendidik anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika
seorang anak lelakimenikah, dia jadi pemimpin; ketika anak perempuan menikah,
dia dipimpin oleh suaminya.
”
Namun tentu saja nasihat dan arahan
orangtua sampai kapan pun tetap penting bagi hidup seorang anak. Hanya
posisinya, ketika si anak sudah menikah, nasihat orangtua lebih kepada nasihat
seorang Muslim kepada saudaranya.
Karenanya, jangan tinggalkan anak yang
lemah di belakang kita. Asah kemampuan mengemban amanah Allah semaksimal
mungkin agar anak betul-betul bisa menjadi investasi masa depan orangtuanya.
Karena Investasi terbesar orangtua adalah anak-anak.
Mari kita ajarkan anak-anak kita sedini
mungkin disiplin dalam hal beribadah khususnya dalam hal shalat 5 waktu. Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi orangtua agar termotivasi untuk mendidik anaknya
menjadi anak yang sholih sholihah.
Sumber : ummi-online.com