Sepercikhikmah
– Sahabat sepercikhikmah sudah tidak asing lagi kita lihat banyak masyarakat
yang berbondong-bondong menuju makam untuk berziarah ke keluarga yang sudah
meninggal ketika bulan suci ramadhan mau datang.
Menjelang
Ramadhan banyak orang berbondong-bondong ziarah ke makam ahli kubur mereka.
Apakah ada anjuran tentang hal ini? Apakah berziarah kubur menjelang Ramadhan
doa akan lebih mustajab dan cepat sampai kepada para ahli kubur? Adakah riwayat
yang menyebutkan hal ini?
Sahabat
sepercikhikmah mengutip dari rumaysho.com, bahwa tidaklah tepat ada yang
meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi
kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”).
Kita
boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena
mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
زُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ
الآخِرَةَ
“Lakukanlah
ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).”
(HR. Muslim no. 976, Ibnu Majah no. 1569, dan Ahmad 1: 145).
Namun
masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu
dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau
nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam
yang menuntunkan hal ini.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوا
بُيُوتَكُمْ قُبُورًا
وَلاَ تَجْعَلُوا
قَبْرِى عِيدًا
وَصَلُّوا عَلَىَّ
فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
تَبْلُغُنِى حَيْثُ
كُنْتُمْ
“Janganlah
jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied,
sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di
mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits ini
shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul
Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).
Dalam
‘Aunul Ma’bud (6: 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di
suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal
itu.”
Ibnul
Qayyim dalam Ighotsatul Lahfan (1: 190) mengatakan, “Yang dimaksud ‘ied adalah
waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya
adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah
dan selainnya.
Sebagaimana
Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai
‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul
di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha).
Orang-orang
musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah
mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha
(hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah,
Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”
Ibnu
Taimiyah berkata bahwa hadits tersebut mengisyaratkan bahwa shalawat dan salam
bisa sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat maupun jauh,
sehingga tidak perlu menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied. Demikian dinukil
dari Fathul Majid (hal. 269).
Tidak
perlu dijadikan sebagai ‘ied yang dimaksud adalah terlarang mengulang-ulang
ziarah kubur ke sana. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata,
نهيه عن
الإكثار من
الزيارة
“Hadits
tersebut menunjukkan terlarangnya memperbanyak ziarah ke kubur beliau.” (Kitab
Tauhid, hal. 91)
Di
halaman yang sama, Syaikh Muhammad At Tamimi menyampaikan faedah dari hadits
yang kita kaji,
نهيه عن
زيارة قبره
على وجه
مخصوص ،
ومع أن
زيارته من
أفضل الأعمال
“Hadits
ini juga menerangkan bahwa terlarang berziarah kubur dengan tata cara khusus ke
kubur nabi, walaupun ziarah ke kubur beliau adalah amalan yang utama.”
Hadits
ini dapat dipahami bahwa tidak boleh menjadikan kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi
wa sallam- sebagai ‘ied, di antara maknanya adalah tidak boleh meyakini bahwa
sebaik-baik tempat untuk berkumpul adalah di sisi kubur beliau, atau
sebaik-baik tempat untuk beribadah seperti do’a atau baca do’a di kubur beliau.
Begitu pula tidak boleh meyakini adanya waktu tertentu yang lebih utama untuk
ziarah kubur seperti saat Maulid Nabi menurut keyakinan sebagian orang.
Jika
kubur nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘ied semacam ini, maka
lebih-lebih lagi kubur lainnya seperti di kubur wali, kyai, “Gus …” atau habib.
Sebagian
orang menganjurkan untuk melaksanakan haul di kubur-kubur wali atau orang
sholih untuk mengenang wafatnya mereka, ini sungguh suatu yang tidak berdasar.
Jika
kubur nabi saja tidak boleh dijadikan haul, apalagi kubur lainnya. Termasuk
dalam perkara yang kita bahas yaitu mengkhususkan ziarah kubur menjelang
Ramadhan, itu justru menyelisihi hadits yang melarang menjadikan kubur sebagai
‘ied. Hanya Allah yang memberi taufik.
Semoga
bermanfaat.
Sumber:Rumayshodanwajibbaca