Jangan Takut Mati. Tapi Siapkan Bekal Untuk Bertemu Allah

Ilustrasi. (Foto : faisalchoir.blogspot.sg)
Sepercik Hikmah – Dua orang penyelam diperintahkan untuk mengambil mutiara di dasar laut. Keduanya menyelam, begitu di dasar laut, kedua penyelam itu terkagum-kagum pada keindahan pemandangan dasar laut, yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Salah seorang diantara keduanya kemudian teringat akan tugasnya. Ia begitu terkejut ketika melihat tabung oksigennya yang sudah menipis. Kalau tidak segera mengerjakan tugasnya ia akan mati. Akhirnya ia hanya bisa mengambil mutiara beberapa saja, kemudian naik ke permukaan. Sedangkan kawannya yang sangat terbius dengan keindahan, akhirnya tidak bisa mengambil apapun. Oksigennya habis sebelum ia sempat mengerjakan tugasnya. Begitu terhanyut, dengan keindahan yang begitu dahsyat.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa dunia yang begitu indah sangat membius siapapun. Dan manusia mempunyai tugas yang sangat dibatasi oleh waktu. Akankah ia kembali dengan apa yang menjadi tugasnya, atau ia akan kembali dengan tangan hampa?
Kehidupan yang merupakan rahmat Allah ini akan berakhir. Kematian akan menghampiri siapa saja, di mana saja, kapan saja, dan bagamanapun keadaannya. Selain tidak pernah mempersiapkan kehidupan yang kekal kelak, kita terkadang selalu beranggapan bahwa waktu itu masih jauh jaraknya. Sebagian orang justru beranggapan bahwa kematian itu sangat menakutkan. Ironisnya, mereka bukan mempersiapkan diri, sebaliknya malah menjauhi pembicaraan hal-hal yang bersifat maut.
Mengapa mati harus ditakutkan? Islam menganggap takut pada kematian menyalahi fitrah dan hanya mendatangkan kesengsaraan. Orang yang takut pada kematian adalah orang yang sengsara. Hidupnya diwarnai dengan kegamangan, kekhawatiran, dan pengecut. Umat yang takut mati adalah umat yang rela hidup dalam kehinaan dan menjadi mangsa umat lainnya.
Imam Hasan al Banna berkata : “Tidaklah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah menjelaskan sebab kelemahan dan kehinaan bangsa. Yaitu karena kerapuhan jiwa mereka, kelemahan hatinya, jauh dari akhlak-akhlak mulia, dan tidak adanya sifat-sifat ksatria dalam diri mereka, sekalipun jumlah mereka banyak dan kekayaan melimpah”.
Kematian adalah hak prerogratif Allah swt. Yang perlu dipikirkan dan diupayakan adalah bagaimana nantinya kita mati? Coba bayangkan seandainya di akhir hidup kelak kita mati dalam kemaksiatan. Bagaimana kita mati adalah tolak ukur prestasi dihadapan Allah. Bagaimana kita mati menjadi tolak ukur penentu kehidupan di alam keabadian kelak. Apa saja yang akan kita siapkan?
Bekal yang perlu dipersiapkan bukanlah kekayaan, kekuatan fisik, pangkat, kedudukan, banyaknya pengikut, dan hal-hal keduniaan lainnya. Bekal itu seharusnya kejernihan hati, kekuatan iman, ketaqwaan, dan amal saleh.
Allah SWT berfirman :

“Berbekallah! Dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS: Al Baqarah : 197).
Ibnu Abbas r.a, berkata : “Manusia di dunia terbagi tiga : Mukmin, munafik, dan kafir. Mukmin menyiapkan bekal, munafik berhias dan berpura-pura, sedang kafir bersenang-senang”.
Selain memanfaatkan waktu, yang tak kalah penting adalah menyusun skala prioritas. Manusia harus menyadari, boleh jadi hari ini merupakan saat-saat terakhir untuk dapat melihat keindahan dunia. Maka ia tidak akan memboroskan waktu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, apalagi yang membawa bencana.
Setiap muslim berharap di akhir hidupnya berakhir dengan indah. Ada beberapa hal yang harus diwaspadai agar terhindar dalam su’ul khatimah, yakni : keraguan, panjang angan-angan, dan menunda-nunda taubat.
Diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a.,
“Empat hal yang menyebabkan hati menjadi gelap, yaitu : perut yang selalu kekenyangan, bergaul dengan orang zalim, melupakan dosa yang telah lalu serta angan-angan yang melambung. Sedangkan empat hal yang membuat hati bercahaya adalah
: perut yang lapar agar selalu waspada, bergaul denagn orang saleh, mengingat dosa yang telah lalu dan tidak berangan-angan yang melambung”.
Mengapa Harus Takut?
“Lalu siapa di antara kalian yang ingin mati?” Tanya kiai lagi menyusul isyarat nonverbal dari jamaah yang menandakan keinginan mereka masuk sorga. Atas pertanyaan ini pun para jamaah diam tak menjawab. Mereka artinya tidak ingin mati.
“Aneh!” gumam sang kiai. Bagaimana mungkin orang bisa masuk sorga tanpa melalui mati terlebih dahulu. Mati adalah tahapan yang harus dilalui sebelum seseorang bisa atau tidak bisa masuk sorga. Mati memang bukan jaminan masuk sorga. Tapi mati baru merupakan salah satu “tiket” untuk masuk sorga. Setiap orang yang masuk sorga, pasti pernah mati terlebih dahulu. Tapi tidak setiap orang mati pasti masuk sorga. Mungkin, karena tidak ada jaminan kepastian inilah mereka semua enggan mati.
Mati hampir selalu ditakuti. Bagi sebagian – atau bahkan mungkin kebanyakan – orang, mati seolah menjadi momok. Begitu seseorang sakit berat, yang terbayang bukan lagi kesembuhan, tapi kematian. Dia ingat mati bukan karena siap menjemputnya, tapi justeru sebaliknya, karena mati seolah menghantuinya.
Padahal, seperti diisyaratkan Rasulullah, kalau saja setiap orang mengetahui hikmah kematian, niscaya mereka akan tersenyum menjemputnya. Sebab kematian adalah proses penyucian dari berbagai jenis kotoran yang melekat pada tubuh seorang mu’min. Bukankah tidak seorang mu’min pun yang hidup tanpa dosa, meski ia begitu bersih ketika pertama kali lahir ke dunia. Perjalanan hiduplah yang seharusnya merindukan kematian, karena lewat perjalanan itu manusia selalu bersentuhan dengan kesalahan.
Tapi memang tidak sederhana memahami kematian. Selain kematian merupakan sesuatu yang ghaib, kematian juga biasa dicitrakan negatif sejak manusia mengenal kehidupan. Kematian hampir selalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang buruk dan negatif. Lihat, misalnya, hukuman mati bagi seseorang yang dinyatakan bersalah; ancaman mati dari seseorang yang terlibat dalam permusuhan; dan masih banyak contoh kasus buruk lainnya yang menggunakan kata “mati”.
Pencitraan yang tidak menguntungkan itu telah membuat manusia takut mati. Prosesnya pun telah berlangsung cukup lama. Sejak pertama kali saya belajar agama di bangku madrasah diniyah, hampir tidak ditemukan ungkapan yang mencitrakan positif bagi kematian. Selain ungkapan penjelasan guru-guru di madrasah, beberapa bahan bacaan anak-anak juga selalu mengungkap kematian sebagi sesuatu yang mengerikan.
Waktu itu, misalnya, sekitar akhir 1960-an, beredar buku komik Karma dan Saleh. Ceritanya sangat menarik karena, paling tidak, ia berkaitan dengan kematian dan gambaran kehidupan sesudah mati. Buku itu bercerita tentang perjalanan dua sosok yang memiliki perangai berseberangan, si Karma dan si Saleh. Saleh mewakili sosok muslim yang baik. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan sangat tenang dan membahagiakan. Senyumnya yang terakhir digambarkan dengan apik dan menarik. Kehidupan sesudah matinya pun menggambarkan kesempurnaan amal sebagai individu yang senantiasa berperilaku baik.
Sementara Karma tidak. Sejak kecil ia telah dikenal sebagai trouble maker baik di kalangan sebayanya maupun para orangtua. Watak pribadinya yang sangat materialistis, pragmatis, dan hedonis, sudah nampak sejak usianya yang masih sangat belia. Kematiannya digambarkan dalam buku itu dengan latar belakang yang sangat menakutkan. Ia berteriak, mengerang kesakitan. Senyumnya sirna. Dan yang lebih mengerikan lagi, gambaran kehidupan sesudah matinya yang sangat tidak membahagiakan.
Secara keseluruhan, buku itu menyediakan gambaran dua kehidupan yang sejatinya dilalui oleh setiap manusia. Dua kehidupan yang dijembatani oleh kematian ini disajikan dalam alur yang mudah dipahami oleh hampir semua lapisan usia. Dilengkapi dengan gambar-gambar yang secara khusus didisain untuk memperlihatkan dua kehidupan berbeda, penuh dengan kenikmatan di satu sisi dan sarat kepedihan siksa kubur di sisi lain. Dan, entah kebetulan atau memang disengaja, gambaran kepedihan siksa kubur disajikan lebih banyak dibanding kelezatan akhirat.
Sejujurnya, saya terpengaruh buku itu. Disiplin shalat saya, selain tentu karena asuhan orangtua, sebagiannya karena efek buku itu. Waktu itu, saya takut kena siksa kubur jika lalai melaksanakan shalat. Yang juga terbayang-bayang dalam ingatan saya waktu itu adalah proses kematian Karma yang sangat menakutkan. Malaikat digambarkan sebagai sosok yang mengerikan. Ruh Karma pun ditarik juga dengan sangat menakutkan. Anehnya, gambaran nasib si Saleh yang membahagiakan, justeru kurang melekat dalam ingatan. Mungkin karena faktor psikologis yang negatif sehingga dapat membangun kesan mendalam.
Ini baru satu ilustrasi mengapa citra kematian menjadi begitu menakutkan. Bahkan, efeknya, segala sesuatu yang berhubungan dengan kematian, seperti keranda, ambulan, kamar mati, kain kafan, dan lain-lain, selalu dicitrakan menakutkan. Akhirnya, orang lebih takut mati, meskipun ia sendiri belum pernah mengalaminya. Orang takut mati bukan karena ia pernah mati, tapi bisa jadi rasa takut itu disebabkan karena takut oleh imajinasinya sendiri tentang mati.
Jadi, tidak perlu takut. Karena sesungguhnya kematian adalah hal wajar bagi setiap orang. Tidak perlu ditakuti, bahkan harus sanggup menjemputnya dengan senyum. Jangan takut. Mati pasti datang menjemput. Bahkan al-Qur’an mengilustrasikan kedatangannya dengan cara yang bisa jadi sangat tiba-tiba: “Jika ajalmu telah datang”, kata Allah, “ia tidak bisa lagi ditunda ataupun dipercepat, meski hanya satu detik.”
Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip sebagian syair lagu Bimbo yang mengungkap pesan Rasul tentang kematian.
Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi pasti menghampiri
Takutlah pada kehidupan sesudah kau mati
Renungkanlah itu..
Maaf, saya mengutip syair lagu dan bukan mengutif langsung sabda Nabi. Sederhananya, saya hanya ingin membangun kesan baru tentang kematian. Ibarat sebuah lagu, ia bukan sesuatu yang menakutkan, tapi menyenangkan. Kematian selayaknya dijemput karena akan memberikan hikmah.
“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)
Cukuplah kematian itu sebagai nasehat bagi orang yang hidup, karena kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tidak menyimpang. Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan oleh kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Dengan begitu mengingat kematian dapat mendorong meraih sukses dalam kehidupan.
Namun, ironisnya, kebanyakan manusia justru lebih suka melupakan kematian. Hidup dan kematian, bagi mereka, seolah dua lembah yang saling berpisah. Satu sama lain seperti tak berhubungan. Mereka mengatakan, bersenang-senanglah di lembah yang satu. Dan, jangan pedulikan lembah lainnya.Mereka kurang menyadari bahwa, kematian adalah garis pemisah antara panggung kepura-puraan dengan kehidupan sebenarnya. Garis yang memisahkan aneka lakon dan peran dengan sosok asli seorang manusia. Garis yang akhirnya menyatakan kesudahan segala peran dan dikembalikannya segala alat permainan.
Sayang sekali, tak sedikit manusia yang lebih cinta dengan dunia kepura-puraan. Mereka pun berkhayal, andai kepura-puraan bisa berlangsung selamanya. Bisa berpuas diri dengan aneka lakon dan peran. Tanpa disadari, kecintaan itu pun berujung pada kebencian. Benci pada kematian.
Allah swt menggambarkan orang-orang yang enggan dan lari dari kematian. Seperti dalam firmanNya di surah Al-Jumu’ah ayat 8, Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ketakutan adalah alasan yang paling lumrah buat mereka yang tidak suka mengingat kematian, bahkan berusaha lari dari kematian. Banyak alasan kenapa harus takut. Salah satunya, mereka takut berpisah dengan kehidupan. Bagi mereka, perpisahan ini berarti usai sudah pesta kenikmatan. Karena kehidupan sudah terlanjur mereka terjemahkan sebagai kenikmatan.
Selain itu, ada ungkapan batin yang tidak mereka sadari. Bahwa, mereka enggan berjumpa dengan Allah, sebagaimana mereka selalu menghindar dari perjumpaan dengan Allah dalam ibadah yang mereka lakukan. Keengganan itu sebenarnya bukan cuma milik mereka. Karena Allah pun enggan bertemu mereka, manakala mereka juga enggan bertemu dengan-Nya. “Diceritakan oleh Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda, Barangsiapa menyukai bertemu Allah, maka Allah juga senang berjumpa dengannya. Sebaliknya, siapa yang benci bertemu Allah, maka Allah pun enggan berjumpa dengannya.” (HR. Ahmad)
Keengganan itu sangat bertolak belakang dengan kerinduan yang diungkapkan seorang sahabat Rasul, Hudzaifah. Ketika tak lama lagi ajal kematian menyambang, beliau r.a. berujar, “….Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa kemiskinan itu lebih baik bagiku daripada kekayaan, sakit itu lebih baik daripada kesehatan, dan mati itu lebih membuatku bahagia daripada hidup, maka permudahkanlah kematian itu untukku. Sehingga aku dapat bertemu dengan-Mu.”
Atau boleh jadi ketakutan terhadap kematian lebih karena ketidaktahuan. Persis seperti anak kecil yang lari ketika diminta mandi. Karena yang diketahui si anak tentang mandi tak lebih dari dingin, dipaksa ibu, dan berhenti dari permainan. Begitu pun tentang kematian. Kematian bagi mereka tak lebih dari rasa sakit, berpisah dengan keluarga, harta dan jabatan; serta rasa kehinaan ketika jasad terkubur dalam tanah.
Di situlah perbedaan mendasar antara hamba Allah yang baik dengan yang buruk. Abdullah bin Umar pernah mendapat pelajaran tentang kematian dari Rasulullah saw.
“Aku bersama Nabi saw, kemudian, ada seorang dari kaum Anshar bertanya, ‘Siapakah di antara orang-orang mukmin yang paling mulia, wahai Rasul?’ Beliau saw menjawab, ‘Yaitu, orang yang paling bagus budi pekertinya’. Sahabat itu bertanya lagi, ‘Siapa di antara orang-orang mukmin yang paling pandai?’ Rasul menjawab, ‘Yaitu orang yang terbanyak ingatnya kepada kematian, dan yang paling siap menghadapi kematian. Itulah orang-orang yang pandai.” (HR. Ibnu Majah)
Bagi hamba Allah, tak ada kemuliaan apa pun kecuali dari tetap menjaga ingatannya dengan kematian. Bahkan, seorang yang berada pada puncak kekuasaan sekalipun. Setidaknya, itulah yang hendak diungkapkan seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hampir sepanjang usia kekuasaannya, tak pernah ia lewatkan satu malam pun untuk mengingat kematian. Caranya begitu manis. Ia panggil para pakar fikih, lalu satu sama lain saling mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan kehidupan akhirat. Kemudian, semuanya pun menangis. Seakan-akan, di samping mereka ada jenazah yang sedang ditangisi.
Itulah mungkin, kenapa Khalifah yang punya kekuasaan luas ini menjadi sosok yang terpuji. Semasa kekuasaannya, hampir tak satu pun rakyatnya yang mengeluh. Mereka hidup sejahtera. Dan inilah sebuah bukti, betapa hidup Umar bin Abdul Aziz begitu berarti ketika kematian menjadi pengingat sejati.
Jadi sebenarnya, kematian itu sungguh berarti bagi sebuah kehidupan. Kematian dapat selalu memberi peringatan, agar kehidupan tetap menjadi sesuatu yang berarti. Sebaliknya, kehidupan juga mengingatkan kematian, sehingga menjadi sesuatu yang dinanti. Kematian mendidik kehidupan, dan kehidupan merindukan kematian
Setiap muslim sangat mengharapkan di saat kematian tiba, dimatikan Allah dalam keadaan “khusnul khatimah”, akhir yang baik, kematian yang diridhai oleh Allah SWT. Sebagian orang ada yang diberi umur panjang dan sebagian yang lain diberi umur pendek, bagi kita yang benar-benar berislam secara kaffah, tidak jadi masalah diberi umur pendek ataupun panjang, semuanya terserah Allah yang memberi hidup.
Jika detik ini seseorang harus menghadapi kematiannya, seseorang tersebut harus rela, jika dikehendaki oleh Allah SWT mati dalam usia muda.
Namun jika seseorang hingga usia 63 tahun masih diijinkan untuk menghirup udaranya Allah ini, seseorang tersebut harus terus bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan, dan lebih banyak menyiapkan bekal, berupa amalan-amalan shalih untuk kehidupan abadi di akhirat nanti. Manusia manapun tidak peduli yang kafir maupun yang beriman, tak kuasa menolak “kematian” yang sudah ditetapkan Allah.
Allah berfirman, “Tidak ada satu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak pula dapat mengundurkannya.” (Al-Hijr [15]: ayat 5)
– mati pada hari apa
– tempatnya mati dimana
– dan matinya sedang mengerjakan apa
Akan tetapi seseorang bisa mengupayakan diri dalam keadaan seperti apa nantinya di saat-saat seseorang tersebut menghadapi matinya, khusnul khatimah ataukah su’ul khatimah.
Khusnul khatimah tentu menjadi cita-cita semua orang, akan tetapi kebanyakan perilaku mereka dan gaya hidup mereka jauh dari sifat-sifat dan tanda-tanda menuju khusnul khatimah. Untuk bisa mencapai khusnul khatimah, tidak hanya menghapal setiap hari kalimat “La illaha illallah”, terus berharap dengan yakin bisa menghadap Allah dengan khusnul khatimah. Kebanyakan yang terjadi, seseorang akan mati sesuai apa yang menjadi kebiasaan yang dilakukan sehari-hari, contohnya adalah:
Seseorang yang setiap hari selalu dan selalu main catur dan mengabaikan shalat 5 waktu, disaat sakaratul maut tiba, walaupun ditalkin oleh temannya untuk bisa mengucapkan kalimat terakhir sebelum ajal, yang terucap bukannya “la illaha illallah” tapi bisa jadi…”Skak”.. (naudzubillahi mindalliq)
Lain halnya seseorang yang rajin shalat 5 waktu secara istiqamah, suka menjalin silarurahim, sedekah dalam keadaaan lapang maupun sempit, suka memaafkan kesalahan orang lain, selalu menahan amarahnya, insya Allah di saat menghadapi sakaratul maut, dengan mudah mengucap “la illaha illallah” disertai senyuman.
Type orang inilah type orang yang “merindukan kematian”, karena orang tersebut yakin akan janji Allah, bahwa Surga hanya dihuni oleh orang-orang yang bertaqwa.
Allah berfirman,
Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas untuk mereka. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zukruf [43]: ayat 35)
JANGAN TAKUT MATI
Dalam salah satu hadist, Rasul bersabda agar kita supaya memperbanyak untuk selalu mengingat mati, sebagai pemutus kenikmatan hidup didunia. Ternyata dalam menghadapi kehidupan dunia ini, kesempatan kita kedepan makin sempit, jatah umur kitapun semakin pendek, dan yang pasti…, setiap orang akan mengalami yang namanya “mati”. Kematian jangan ditakuti, tapi disiapkan dengan hati yang ikhlas.
Bahwa orang yang cerdas, orang bijak dimata Allah SWT bukanlah orang-orang yang serba cukup dalam materi dan bergelimang harta, orang yang berhasil mencapai gelar Professor, Doktor, Insinyur, dll. Tapi orang cerdas dan bijak adalah orang yang mengejar dan menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya dan dengan sungguh-sungguh dalam menyiapkan diri untuk menghadapi kematian, yang sudah pasti datang menjemputnya. Ia akan selalu beramal shalih dan berjuang dijalan Allah untuk menghadapi kematian, yang datang sewaktu-waktu.
Ada 4 kriteria (4S), tanda-tanda orang yang cerdas dan bijak dalam menyiapkan kematian, yaitu :
1. Semangat untuk beramal shalih.
Allah berfirman,
“Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu, hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku ke dunia. Agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mukminun [23]: ayat 99- 100)
2. Segera melakukan amal shalih.
Seseorang tersebut tidak suka menunda-nunda untuk beramal shalih dan ibadah-ibadah lainnya, serta hal-hal yang baik yang diridhai Allah SWT. Dalam hatinya selalu ada keinginan untuk berhijrah terus menerus kearah yang lebih baik.
Allah berfirman,
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan raihlah surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”(Ali-Imran [3]: ayat 133-134)
3. Sebaik mungkin melakukan amal shalih.
Seseorang tersebut selalu berniat untuk yang terbaik dalam hal ibadah, selalu ingin yang terbaik dalam kebaikan, baik dalam lingkungan kantor, di dalam masyarakat maupun di intern keluarga. Kalau jadi pimpinan, dia berusaha untuk adil & bijaksana, bukannya yang sombong dan membanggakan diri, karena yang berhak sombong itu hanya Allah SWT, dan Allahpun tidak mempunyai sifat sombong. Orang tersebut ingin berbuat yang terbaik setiap menghadap Allah SWT, di saat mendirikan shalat 5 waktu dengan ikhlas & khusuk.
4. Sebanyak mungkin beramal shalih.
Rasul sendiri sebagai kekasih Allah, yang sudah pasti dijamin Allah masuk Surga, setiap hari selalu beristighfar memohon ampun minimal sebanyak 100 kali dalam sehari, apalagi kita-kita manusia biasa…. hanya dengan bertaubatlah maka hati ini akan dibersihkan Allah, insya Allah. Cobalah untuk “mengetuk hati” kita ini agar dengan tulus “ikhlas” mau “membuka hati” untuk :
– lebih mencintai kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia
– banyak mengingat kematian, dan kalau bisa merindukan kematian dan jangan sekali-kali ada rasa “benci” terhadap mati.
Tanda-tanda seseorang yang hatinya bersih, banyak mengingat mati, bahkan merindukan mati, akan tampak dalam perilaku sehari-hari :
– sering melakukan taubat, istighfar & dzikir
– hati menjadi tentram, bersih bagai salju
– khusuk & istiqamah dalam shalatnya
– tidak silau dengan kehidupan dunia
Sedangkan tanda-tanda seseorang yang hatinya kotor, takut bahkan menbenci kematian akan tampak dalam perilaku sehari-hari, antara lain:
– sedikit istighfar, suka menunda taubat, merasa hidupnya masih lama
– hati merasa selalu kurang dalam segala hal
– dunia adalah tujuan utama, dunia adalah segala-galanya
– bermalas malasan dalam beribadah
Perlu difahami bahwa hampir setiap manusia dibumi ini, sejak nabi Adam hingga Qiamat tiba nanti, setiap hari mereka semua mengalami “latihan mati”, yaitu di saat mereka sedang dalam keadaan “tidur”. Mestinya kita belajar dari kejadian tidur yang tiap hari kita alami, amat sangat dekat hubungan antara tidur dan mati tersebut bagaikan “kakak dan adik”, sebagian ulama menyebut tidur adalah wafat shughra (kematian kecil).
Allah berfirman,
“Allah memegang ruh orang ketika matinya dan memegang ruh orang ketika tidurnya. Maka ditahanlah ruh orang yang telah Allah tetapkan kematiannya dan dilepaskanlah ruh yang lain sampai waktu bangunnya. Sungguh yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mau berfikir.” (Az-Zumar [39]: ayat 42)
Dalam salah satu hadist, Nabi yang menganjurkan kepada kita untuk selalu berdo’a sebelum tidur dengan mengucapkan : “Bismikallahuma ahya wa bismika wa amut”.
Yang artinya : Engkaulah ya Allah yang menghidupkanku dan Engkaulah yang mematikanku..
====
Sumber : quranku1234
loading...
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==