SepercikHikmah – Sahabat
SepercikHikmah, Memberi keringanan kepada perempuan hamil dan menyusui untuk
tidak berpuasa merupakan keringanan yang diberikan oleh syariat islam. Jika perempuan
yang sedang hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan perempuan
menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih, misalnya takut kurangnya asupan
susu, karena sebab keduanya berpuasa,
maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di
antara para ulama.
Dalil yang menunjukkan hal
ini ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza
wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi
musafir, perempuan hamil dan menyusui.”
Perselisihan Para Ulama dalam hal qodho’ atau
fidyah
Namun apa kewajiban perempuan
hamil dan menyusui jika tidak menjalankan puasa, apakah ada qodho’ ataukah
mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan,
“Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga
pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa perempuan hamil dan menyusui wajib qodho’ jika
keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga
menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup
keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan
Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”
Dalam masalah hal ini ada 5
pendapat
Pendapat yang pertama ialah : wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah
pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, jika perempuan hamil dan menyusui takut sesuatu
membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’ puasa saja
karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat Yang kedua Ialah: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al
Auza’i, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat Yang ketiga Ialah: cukup memberi makan kepada orang miskin
tanpa mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al
Albani.
Pendapat Yang keempat Ialah: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi perempuan
menyusui ialah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafi’iyah.
Pendapat Yang kelima Ialah: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi
makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.
Dalil Ulama yang
Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama
yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih
berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi perempuan hamil dan
menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini ialah
bagi orang yang tua renta dan perempuan tua renta, lalu mereka mampu berpuasa.
Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin
setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka.
Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang
yang tua renta dan perempuan tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa.
Kemudian bagi perempuan hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka
dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan.”
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai
firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin,”[5] beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan
bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat
berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk
memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal
ini juga berlaku untuk perempuan hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu
Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak
berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).”
Dalam perkataan lainnya,
Ibnu ‘Abbas menyamakan perempuan hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama
dalam membayar fidyah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh perempuan
hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua
yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang
miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”
Begitu pula hal yang sama
dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang
menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan,
dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar
memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
Dalil Ulama yang
Mengharuskan Qodho’
Alasan Yang pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah
meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari perempuan hamil dan
menyusui.”
Al Jashshosh rahimahullah
menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat
tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai perempuan
hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. …
Keringanan puasa bagi perempuan hamil dan menyusui sama halnya dengan
keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa
bagi musafir yang tidak berpuasa ialah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka
berlaku pula yang demikian pada perempuan hamil dan menyusui. Dari sini juga
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara perempuan hamil dan menyusui jika
keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa)
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[11]
Perkataan Al Jashshosh ini
sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib
mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi perempuan menyusui ialah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.
Alasan Yang kedua: Selain alasan di atas, ulama yang
berpendapat cukup mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa perempuan
hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak
puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada perempuan
hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup
mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula
oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض ، إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر ، وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك ، كالمريض ، وذهب بعض أهل العلم إلى أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم : إطعام مسكين ، وهو قول ضعيف مرجوح ، والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض ؛ لقول الله عز وجل : ( فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) البقرة/184” اهـ
“Hukum perempuan hamil dan
menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka
(tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa)
di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama
berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada
orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini ialah
pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’
(mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit
(yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[13]
Sanggahan untuk Ulama yang
Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi
hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa perempuan
hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada
yang berpendapat bahwa perempuan hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia
harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti)
puasanya. Yang berpendapat seperti ini ialah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan
Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah
mengenai pendapat ini.”[14]
Sedangkan ulama yang
berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi perempuan
menyusui ialah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
Beliau mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين
“Imam Malik berpendapat
bahwa adapun perempuan menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan
diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi
makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga
diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk perempuan hamil ia cukup
mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali
tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[15]
Ibnu Rusyd Al Maliki
rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih
qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan
antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada
memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan
adanya hukum fidyah saja bagi perempuan hamil-menyusui) ialah riwayat yang
tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.”[16]
Sanggahan untuk Ulama yang
Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam
ini ialah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya ialah
seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu
Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum
sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang miskin).
Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi perempuan hamil dan menyusui
yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya
dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”[17]
Namun perkataan di atas
dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata
tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari
orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang
terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu
dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang
bertahan kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga
disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya,
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama
yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi perempuan hamil dan menyusui
selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini ialah pendapat yang syadz
(menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh
mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan
dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini ialah
diwajibkan untuk qodho’ bagi perempuan hamil dan menyusui, tanpa perlu
menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang
membicarakan wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Perempuan hamil dan menyusui ialah semisal orang sakit dan musafir.
Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Ka’bi.”[18]
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami
nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan
dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan
fidyah pada perempuan hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan
bahwa perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah
saja, tanpa mengqodho’. Ayat yang dimaksud ialah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar,
ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)[19]. Surat Al Baqarah ayat 184
yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka
ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah
dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai
penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah
bin Al Akwa’[20].
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas
berpendapat adanya fidyah bagi perempuan hamil dan menyusui yang tidak
berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah
ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam
Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar
Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang
yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah
dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua
renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka
mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22]
Ibnu Hajar dalam Al Fath
ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi
pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama.
Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat
tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”[23]
Selain berargumen dengan
alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa perempuan hamil dan
menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa
pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar,
dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[24]
Penutup
Setelah panjang lebar
membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah
pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa perempuan hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup
mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh
ulama yang berpegang dengan pendapat ini.
Kondisi ini berlaku bagi
keadaan perempuan hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’. Dalam
kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’
di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk
mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan
tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak
kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu
menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap
harinya.
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa perempuan hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika perempuan hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”
Semoga sahabat
sepercikhikmah diberi ilmu yang bermanfaat oleh Allah SWT dari tulisan kami ini.
Sumber : rumaysho.com