Kami (Muslim) Dipaksa Merasa Bersalah
Oleh Maimon Herawati / Pengajar Jurnalistik Fikom Unpad
Belum genap sehari pengeboman dan penembakan Paris terjadi, tapi berbagai media sudah menyebut satu kelompok Muslim sebagai pelaku teror.
Baru saja Reuters menurunkan berita Paris attacks kill 127, Islamic State threatens France, dengan menyertakan paragraf ‘Tidak ada klaim pertanggungjawaban secara langsung, tapi ISIS mengeluarkan video tanpa tanggal. Video itu berisi ancaman ISIS bahwa Prancis tidak akan hidup damai sepanjang tetap ikut serta mengebom ISIS bersama Amerika’ (Reuters.com 14/11 pukul 16.53 WIB).
Berita di atas sudah pasti akan direlay berbagai media di dunia, termasuk media di Indonesia karena Reuters adalah portal berita terkemuka, dianggap terpercaya. Ini tentu saja sangat disayangkan karena belum ada investigasi, belum ada siaran pers dari yang mengaku bertanggungjawab, Reuters sudah menanamkanzhon bahwa pelaku teror Paris adalah Muslim.
Esok, saya yakin Muslim di berbagai belahan dunia akan dipaksa untuk menyampaikan pernyataan not in my name, tidak atas nama saya, sebagai perceraian ideologis dengan ‘Muslim’ pelaku teror itu. Padahal, apa iya pelaku-pelaku teror ini Muslim? Mana bukti mereka Muslim?
Saya saja, belum apa-apa, di halaman pribadi media sosial juga menyampaikan hal itu.Not in my name. Walau, sungguh, saya belum tahu siapa yang menjadi pelakunya. Atau apakah nama kelompok saya (Muslim) akan diseret pelaku teror itu atau tidak. Secara psikologis, ada ketakutan bahwa saya akan disamakan dengan kelompok –katanya Muslim- teroris itu. Itu sebabnya saya bersegera menyampaikan, tidak atas nama saya. Mental saya sudah lebih dulu terserang dan saya harus memertahankan diri. Saya bukan bagian dari teroris.
Padahal, siapa sih kelompok peneror itu? Jangan-jangan ini pun setting kelompok tertentu. Mereka demikian pintar berperang dan ajeg menggunakan siasat Sun Tzu, ‘Bergerak dengan halus, sampai pada keadaan tanpa bentuk. Berlakulah dengan sangat misterius, sampai pada keadaan tak ada suara. Kamu akan bisa menentukan nasib lawan’.
Saking tidak jelasnya siapa mereka dan seterusnya, dua miliar orang berhasil dibuat merasa bersalah oleh pelaku teroris yang belum mengaku berasal dari Muslim ini.
Di sisi lain, pemberitaan model Reuters ini semacam menyembur minyak ke dalam api. Muslim di berbagai dunia semakin melek dengan kemunafikan Barat. Saat satu lokasi di Barat diserang, Muslim melihat media serentak berteriak, ‘Ini teror. Kita sedang berperang melawan teror.’ Media lalu menayangkan siapa yang harus diperangi itu, Muslim.
Pada hari yang sama, Muslim melihat Palestina diserang Israel dalam gelombang intifada ketiga dengan korban sudah ratusan juga, tidak banyak media yang memuat. Begitu juga saat Rusia atau tentara sekutu Amerika mengebom Suriah empat hari lalu, media relatif sunyi.
Ini tentu saja tidak membantu terciptanya dunia yang aman, damai bagi semua. Sebanyak dua miliar manusia dari tujuh miliar penduduknya akan merasa tersudutkan dan dibuat tidak nyaman dengan propaganda teror identik dengan Islam. Belum lagi jika mereka melihat pada saat yang sama, tindakan serupa di belahan bumi Muslim diakui sebagai tindakan memertahankan diri.
Standar ganda yang berkeleleran di media Barat ini sangat mungkin menjadi pemicu sebagian kecil Muslim yang merasa harus berbuat sesuatu atas ketidakadilan ini. Mereka merasa suaranya tidak didengar. Mereka membaca kesewenang-wenangan. Saat tidak ada kanal menyuarakan kemarahan itu, mereka mengambil jalan pintas, mereka turun tangan dengan membabibuta.
Saya harap, media-media di Indonesia bisa bijak menuliskan berita tentang teror di Paris. Elemen jurnalistik Bill Kovack rasanya perlu diingat terus. Kewajiban pertama jurnalistik adalah pada kebenaran.
Kebenaran yang dilihat dari berbagai sisi sehingga utuh fakta itu dilihat dari kiri, kanan, atas, bawah, ataupun dalam. Jurnalistik juga harus bisa membuat berita yang proporsional dan komprehensif. Proporsional silahkan dilihat dari skalanya, jumlah yang tewasnya.
Sampai saat ini, jumlah terbanyak tewas dalam konflik dunia saat ini tetaplah Muslim. Jumlah terusir terbanyak tetaplah Muslim. Media mestinya proporsional menampilkan ini hingga tak membuat korban merasa menjadi pelaku kejahatan.
Jika media di negeri mayoritas Muslim saja gagal melakukan ini, apalagi media di belahan bumi yang lainnya.
Sumber: republika.co.id